JAKARTA - Ramai! Statemen Giring Ganesha saat pidato di depan Jokowi. Di hari ultah PSI ke-7 itu, Giring Ganesha bilang: Indonesia jangan dipimpin oleh pembohong pecatan Jokowi. Publik paham, yang disasar Giring adalah Anies Baswedan.
Sontak, semua pendukung Anies marah. Giring Ganesha balik diserang dan dikecam. Masif sekali. Tidak hanya para pendukung Anies, mereka yang berada di luar arena dukung mendukung pun ikut menyayangkan pernyataan Giring. Meminta agar Giring Ganesha sebagai politisi lebih memperhatikan kualitas. Statemen ketua mesti berkelas.
Memang, Statemen Giring Ganesha oleh banyak pihak dianggap tidak berkelas. Statemen seperti ini, mestinya tidak keluar dari seorang ketua umum partai. Bukan kelasnya. Kalau yang bicara kader tingkat kelurahan yang gak lulus SMP dan gak ngerti apa-apa, publik akan bisa memakluminya. Tapi, jika itu dinyatakan oleh plt ketua umum partai, memang terkesan sangat tidak berkelas. Kata sekretaris PPP DKI, "mungkin karena dia biasa nyanyi".
Kalau kita menggunakan standar kelas dan etika sosial dalam membaca Statemen Giring Ganesha, memang sangat memprihatinkan. Tapi, jika kita membaca pernyataan Giring Ganesha itu sebagai bagian dari strategi politik PSI, maka tak perlu ada yang dirisaukan.
Pernyataan Giring Ganesha semacam ini, itu sudah kesekian kali dari runutan banyak pernyataan dari para kader PSI. Jangan bicara data dan fakta, karena itu bukan sesuatu yang menjadi pertimbangan.
PSI memastikan posisinya sebagai oposisi Anies Baswedan. Kenapa tidak oposisi Jokowi? PSI tidak punya anggota DPR RI. Tidak punya anggota legislatif di pusat.
Selain ada faktor lain, yang tentu anda sudah pada tahu tentang "Man behind the gun".
Di sisi lain, PSI harus memiliki eksistensi yang tersosialisasi ke publik. Artinya, publik harus tahu kalau PSI itu masih ada. Ini taruhan untuk masa depan elektabilitas dan PSI itu sendiri sebagai partai yang ingin menjadi peserta pemilu 2024.
Strategi yang dipilih oleh PSI adalah menjadi oposisi Anies Baswedan. Maka, menyerang Anies ini gak ada hubungan dengan perasaan "like or dislike". Tapi, ini "mungkin" hanya soal strategi. Kalau ada keterlibatan perasaan, itu hanya efek sampingan.
Sepertinya, PSI tidak akan pernah berhenti menyerang Anies. Sebab, "mungkin" ini bagian dari pilihan strategi. Pertama, serangan kepada Anies ini dianggap efektif untuk menjaga dan menaikkan popularitas PSI. Kedua, boleh jadi serangan kepada Anies dijadikan strategi untuk membidik suara dari kelompok yang selama ini kurang suka terhadap Anies.
Saat ini, Anies sangat populer. Terutama posisinya sebagai Gubernur di Ibu kota dan calon presiden 2024. Maka, menyerang Anies akan mendapat tumpangan untuk ikut populer.
Jika anda ingin populer, jalan termudah dan paling cepat adalah menyerang orang yang sudah populer. Ini teori klasik yang masih terus berlaku hingga hari ini.
Sebagai partai yang memiliki 8 anggota DPRD di DKI, PSI punya legitimasi untuk mengkritisi Anies. Inilah peran controlling anggota legislatif. Kritik atau fitnah? Publik paham soal itu.
Kritik itu berbasis data. Kalau fitnah itu gak perlu, atau bahkan kontra data. Hanya itu bedanya.
Kenapa yang paling kritis justru ketua umum PSI dan kader di luar legislatif? Lagi-lagi, ini hanya soal "strategi branding".
Semakin besar reaksi terhadap pernyataan kader PSI, ini tandanya bahwa umpan mereka berhasil.
Giring Ganesha, juga kader PSI yang lain, hanya petugas partai. Mereka hanya menjalankan tugas sesuai dengan pilihan strategi yang mungkin mereka anggap efektif.
Pilihan strategi PSI, kalau memang benar, ini tidak hanya menguntungkan bagi PSI sebagai partai yang berupaya merangkak untuk bisa ikut berlaga di pemilu 2024, tapi juga menguntungkan bagi Anies. Semakin banyak yang "menyerang" dan "black campaign" Anies, maka semakin besar gelombang empati, simpati dan dukungan terhadap Anies.
Mendengar "Statemen Giring Ganesha" kemarin, saya menduga Anies akan senyum-senyum saja. Dan ini jadi kebiasaan Anies, selalu senyum setiap kali diserang dan dibully. Di balik senyum Anies, ada hikmah yang besar. Yaitu: Anies makin lapang jalannya menuju ke Istana.
Jakarta, 24 Desember 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa